PENJELASAN UMUM
I.
Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar berhubung dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, maka sekarang
berlaku semua peraturan hukum pidana, yang ada pada tanggal 17 Agustus 1945,
baik yang asalnya dari pemerintah Hindia-Belanda, maupun yang ditetapkan oleh
Pemerintah balatentara Jepang.
Hal
ini sekarang ternyata menimbulkan kesukaran yang dengan singkat akan diuraikan
dibawah ini : Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Hindia-Belanda pada umumnya berlaku buat seluruh Indonesia, sedangkan
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah balatentara Jepang hanya
berlaku buat sebagian dari Indonesia saja, oleh karena Indonesia pada jaman
Jepang dibagi menjadi beberapa daerah (Jawa, Sumatera, Borneo dll), yang
masing-masing mempunyai Pemerintah dan Peraturan-peraturan sendiri. Dari sebab
itu maka mungkin suatu Peraturan Hindia Belanda, yang dulu berlaku buat seluruh
Indonesia, oleh Pemerintah Jepang di Jawa dan Madura diganti seluruhnya dengan
peraturan baru, di Sumatera hanya sebagian diganti, dan di Borneo sama sekali
tidak diganti.
Mungkin
pula buat tiap-tiap daerah tentang suatu hal oleh Pemerintah daerah Jepang
diadakan suatu peraturan baru yang satu sama lain tidak sama isinya. Selain
dari pada itu peraturan hukum-pidana Hindia Belanda dan Jepang tidak sama
sisteem-nya. Sedangkan peraturan hukum pidana Hindia-Belanda berdasarkan azas :
Nullum delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan
tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana)
(lihatlah pasal 1 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), maka
peraturan hukum pidana Jepang berazas luas (lihatlah misalnya pasal 14 dan
pasal 35 No. 8 Gunsei Keizirei).
Disini
tidak akan dirundingkan sisteem manakah sebagai sisteem terlebih baik, akan
tetapi sudah barang tentu, bahwa tidak baik menggunakan dua sisteem itu dalam
peraturan-peraturan hukum pidana, yang bersama-sama berlaku dalam sesuatu
daerah.
Lagi
pula peraturan tentang bagian umum (algemeene leerstukken) dari hukum pidana
Hindia-Belanda dan Jepang tidak sama. Di dalam praktek peraturan bagian umum
dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie harus dipakai jikalau
pelanggaran mengenai peraturan Hindia-Belanda, sedang peraturan bagian umum
dari Gunsel Keizirei harus dipergunakan, jikalau peraturan Jepang yang
dilanggar.
Dirasa
tak perlu memberi keterangan panjang lebar, bahwa menyempurnakan peraturan-peraturan
hukum Pidana HindiaBelanda dan Jepang itu tidak memuaskan dan menimbulkan
kesulitan bagi mereka yang harus menjalankan hukum pidana itu, lebih-lebih
pegawai polisi yang bukan ahli hukum. Dari sebab itu tidak mengherankan, bahwa
dari beberapa tempat dan pihak diusulkan supaya satu peraturan kriminil sajalah
dipakai. Lebih tegas diusulkan oleh mereka supaya peraturan-peraturan hukum
pidana Jepang dihapuskan.
Memang
tidak dapat disangkal, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana Jepang, yang
berlaku ditanah kita, bersifat fascistisch, lagi pula tidak merupakan peraturan
yang bulat, kerap kali tidak jelas dan mengandung banyak bukti, bahwa
peraturan-peraturan itu disusun dengan tergesa-gesa pada masa yang tak tenang,
sedang Gunsei Keizirei kadang-kadang memaksa hakim menjatuhkan hukuman yang
tidak seimbang dengan kesalahan pesakitan, oleh karena beberapa pasal tak
memberi kesempatan kepada hakim memberi hukuman lebih enteng dari pada batas
terlukis dalam pasal-pasal itu. Sebaliknya kriminil boleh dikatakan, bahwa peraturan
Hindia-Belanda walaupun tidak sempurna, cukup lengkap dan pada umumnya tidan
mengandung cacat-cacat seperti dimaksud diatas, sehingga peraturan-peraturan
ini, sebelum dapat diselesaikan peraturan-peraturan hukum pidana nasional,
boleh dipakai buat waktu, sesudah itu dirobah dan ditambah peraturan-peraturan sementara
seperlunya.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dirasa perlu melenyapkan
peraturan-peraturan kriminil Jepang, sehingga buat sementara waktu berlaku lagi
peraturan-peraturan hukum pidana Hindia-Belanda yang ada pada tanggal 8 Maret
1942.
Perlu
kiranya diterangkan disini, bahwa yang akan tidak berlaku lagi itu, ialah peraturan-peraturan
hukum pidana sahaja, yaitu Gunsei Keizirei dan peraturan-peraturan Jepang lain
yang memuat "matereel stafrecht". Peraturan-peraturan Jepang yang
bersifat lain terus berlaku.
II.
Oleh karena Negara Republik Indonesia sekarang tidak dalam keadaan perang dengan
Negara manapun, dan keadaan bahaya tidak dinyatakan oleh Presiden (lihatlah
pasal 12 Undang-Undang Dasar), maka dianggap kurang tepat mengadakan
peraturan-peraturan sebagai "Verordeningen van het Militair Gezag"
yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda.
Dari
sebab di dalam praktek disangsikan, apakah peraturan-peraturan itu masih berlaku
atau tidak, maka sebaiknya dinyatakan, bahwa undang-undang itu dicabut. (lihat
pasal 2 dari rencana).
III.
Tidak perlu diterangkan, bahwa semua peraturan yang berlaku pada tanggal 8 Maret
1942, mestinya satu demi satu sedapat-dapat harus disesuaikan dengan keadaan
sekarang. Hal ini sedapat-dapat dilaksanakan terhadap Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie). Tetapi pekerjaan itu
tidak mungkin sekaligus diselenggarakan terhadap semua Peraturan. Berhubung
dengan itu, maka dengan pasal III, IV dan V dari rencana diberi petunjuk
walaupun jauh dari pada sempurna kepada mereka yang harus menjalankan peraturan
hukum pidana sehari-hari, jalan manakah yang harus ditempuh untuk menyesuaikan peraturan-peraturan
lama dengan keadaan sekarang, sebelum peraturan-peraturan itu dapat dirobah
atau diganti.
IV.
Tentang bahasa, yang dipakai dalam perobahan-perobahan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, baik kiranya diberi keterangan sekedarnya. Karena kitab tersebut
ditulis dalam bahasa Belanda, maka agar supaya tidak menimbulkan kekacauan
dalam membacanya perobahan-perobahan itu, yang hanya mengenai satu atau dua
perkataan atau sebagian dari pasal atau ayat, ditulis pula dalam bahasa
Belanda.
V.
Selain dari pada perobahan kecil-kecil ini, dirasa perlu juga merobah pasal 171
Kitab undang-undang hukum pidana seanteronya serta mengadakan beberapa aturan-aturan
baru antara lain guna melindungi masyarakat kita pada zaman pancaroba ini.
Oleh
karena perobahan-perobahan dan tambahan-tambahan yang dimaksud ini sangat
dipengaruhi keadaan sekarang dan kini belum dapat ditetapkan dengan pasti,
apakah peraturan-peraturan itu seperti yang diusulkan sekarang, akan tetap
dibutuhkan, juga buat kemudian hari, maka dianggap lebih tepat memberi tempat
kepada pasalpasal tersebut di luar badan Kitab undang-undang hukum pidana.
Pasal-pasal ini ditulis dalam bahasa Indonesia (lihat pasal IX, X, XI, XII,
XIII dan XV).
VI.
Hingga kini terjemahan nama : "Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie"
dalam bahasa Indonesia tidak sama. Nama-nama yang dipakai ialah antara lain :
Kitab Undang-undang Hukum Siksa", "Kitab Undang-undang Hukum",
"Kitab Undang-undang Hukum Pidana", dsb. Untuk mencapai persamaan
dalam terjemahan nama tersebut, dipandang perlu menetapkan terjemahan resmi
dengan undang-undang (lihat pasal 6). Istilah "hukum pidana" dalam
arti "strafrecht" ialah istilah yang ditetapkan oleh Panitia istilah
dari Panitia penyelenggara undang-undang di Departemen Kehakiman pada zaman
Jepang.
PENJELASAN SEPASAL
DEMI SEPASAL.
Pasal
I sampai VI
Penjelasan
telah diberikan dibagian penjelasan umum. Petunjuk-petunjuk dalam pasal I
sampai V diatas dirasa perlu terhadap peraturan-peraturan hukum pidana yang
belum dapat dirobah atau diganti sesuai dengan keadaan sekarang.
Pasal
VII
Tidak
perlu diterangkan lagi.
Pasal
VIII.
No.
1 Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan, (lihatlah No. 13, 19 dan 21).
No.
2 dan 3a tidak membutuhkan penjelasan.
No.
3b, dan No. 4 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang, maka pegawai inilah yang
harus diberi kekuasaan yang dimaksud dalam pasal ini, sedangkan kewajiban
Gouverneur-Generaal dulu patut diserahkan kepada Menteri Kehakiman.
No.
5, No. 6, No. 7, No. 8, tidak membutuhkan penjelasan
No.
9 Negeri Belanda, Suriname dan Curacao tidak masuk daerah Negara Indonesia.
No.
10 Namanya badan-badan politik yang dimaksud dalam pasal ini belum dapat disebut.
Komite Nasional Indonesia antara lainnya juga masuk dalam pasal ini.
No.
11, No. 12, No. 13 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
14 Pasal 105 dihapuskan, (lihatlah No. 13).
No.
15, No. 16 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
17 Pasal 105 dihapuskan (lihatlah No. 13).
No.
18 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
19 Pasal ini tidak sesuai dengan bentuk Negara kita sebagai Republik.
No.
20 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
21 lihat penjelasan penjelasan 19.
No.
22 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
23 lihat penjelasan No. 19 dan perobahan pasal 134 (No. 22).
No.
24 Pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (lihatlah No. 23)
No.
25, No. 26 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
27a, pasal 130 dihapuskan (lihatlah No. 19)
B,
pasal-pasal 132 dan 133 dihapuskan (lihatlah No. 21).
C,
pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (lihatlah No. 23).
No.
28 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
29 lihat penjelasan No. 10.
No.
30 Pasal-pasal ini dianggap tidak sesuai dengan azas Negara kita sebagai negara
yang demicratis.
No.
31 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
32 lihat penjelasan No. 30.
No.
33 Pasal 105 dihapuskan.
No.
34 Pasal-pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan.
No.
35 dirobah dan jadi pasal XIV dan XV dari rancangan ini.
No.
36 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
37 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang yang sama dengan (Eur) Officier van
Justitie dulu.
No.
38 Pasal ini tidak sesuai dengan keadaan sekarang.
No.
39 Tambahan dalam pasal 234 dianggap perlu oleh karena sekarang banyak surat-surat
dikirimkan dengan perantaraan orang.
No.
40 tidak membutuhkan penjelasan.
No.
41 Sekarang belum terang kepada siapa kekuasaan Gubernur Jenderal yang dimaksud
dalam pasal 239 Kitab Undang-undang hukum pidana akan diberikan.
No.
42, No. 43 tidak perlu diberikan penjelasan.
No.
44 Suriname, Curacao dan Nederland telah masuk perkataan-perkataan "buitenlandsche
mogendheid".
No.
45 Perkataan "Inlandsch" tidak ada artinya lagi.
No.
46 Penghapusan ini adalah sesuai dengan kedudukan Jaksa sekarang.
No.
47, No. 48, No. 49, No. 50, No. 51, No. 52, No. 53, tidak membutuhkan penjelasan.
No.
55, No. 56, No. 57, No. 58, No. 59 Dirasa tepat bahwa laporan yang dimaksud harus
disampaikan Kepala Polisi. u
No.
60, No. 61, No. 62, No. 63 tidak perlu dijelaskan.
No.
64 Pegawai yang dimaksud dalam pasal ini harus ditunjuk antara lain dalam pasal-pasal
41 dan 333 dari Burgerlijk Wetboek.
No.
65 Kepala Polisi ditunjuk dalam pasal ini berhubung dengan kedudukannya sekarang.
Pasal
IX sampai XIII
Pasal-pasal
ini dibutuhkan buat menindas usaha untuk mengacaukan peradaran uang di negeri
kita dengan menyebarkan mata uang atau uang kertas yang oleh pihak Pemerintah
kita tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Mata uang atau uang kertas
yang tidak disebut dalam Maklumat Presiden Republik Indonesia tertanggal 3
Oktober 1945 No. 1/10 sebagai alat pembayaran yang sah, adalah buat daerah Jawa
dan Madura alat pembayaran yang tidak sah.
Pasal
IX.
Mengancam
hukuman terhadap barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas
dengan maksud seperti diterangkan dalam pasal itu.
Pasal
X dan pasal XI.
Disusun
hampir sama dengan susunan pasal 245 dan pasal 249 Kitab undang-undang hukum
pidana. Bedanya disebabkan oleh hal yang pasal X dan XI mengenai mata uang atau
uang kertas yang tidak sah, sedangkan pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum
pidana mengenai mata uang atau uang kertas palsu atau yang dipalsukan. Penjelasan
dalam kitab-kitab tafsir tentang pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum
pidana dapat dipergunakan untuk menafsirkan pasal X dan XI dari rancangan ini,
dengan mengingat akan bedanya.
Pasal
XIII
Merupakan
pasangannya pasal 250 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal
XIV dan pasal XV
Menggantikan
pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang pada masa pancaroba ini perlu
diperluas.
Pasal
XIV.
Ialah
sama dengan "Verordening No. 18 van het Militair Gezag". Keonaran adalah
lebih hebat dari
pada
kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.
Kekacauan meuat juga keonaran. Menyiarkan artinya sama dengan
"verspreiden" dalam pasal 171 Kitab Undang-undang
Hukum
Pidana.
Pasal
XV.
Disusun
tidak begitu luas sebagai "verordening No. 19 van het Militair
Gezag".
Pasal
ini mengenai "kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang
disiarkan dengan tambahan atau dikurangi. Menyiarkan kabar benar secara yang
benar tidak dihukum.
Arti
perkataan "keonaran" telah dijelaskan dalam penjelasan pasal XIV.
Pasal
terakhir.
Oleh
karena berhubung dengan sukarnya perhubungan antara pulau Jawa dan daerah Negara
Indonesia yang lain, sekarang belum dapat ditetapkan bilamana Undang-undang ini
akan berlaku buat daerah di luar pulau Jawa dan Madura, maka sebaiknya
diserahkan kepada Presiden untuk menentukan saat itu.