Berikut Rancangan Undang-Undang yang telah disahkan Presiden di tahun 2019 yakni Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
a.
bahwa
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu
penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme;
b.
bahwa
lembaga Pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c.
bahwa
pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan
melalui strategi pemberantasan tindak pidana korupsi yang komprehensif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
bahwa
beberapa ketentuan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi
Undang-Undang, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diubah;
e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat:
1.
Pasal
20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4250), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5698);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5698)
diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Tindak
Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Penyelenggara
Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan
penyelengaaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang melaksanakan tugas
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini, bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
4.
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan
memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5.
Penyadapan
adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat,
dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi,
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi maupun
alat elektronik lainnya.
2.
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 12A, Pasal
12B, Pasal 12C, Pasal 12D, dan Pasal 12E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1)
Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilaksanakan:
a.
setelah terdapat bukti permulaan yang cukup; dan
b.
atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas
untuk melakukan Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3)
Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 12B
(1)
Dalam keadaan mendesak, Penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin
tertulis dari Dewan Pengawas.
(2)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus meminta izin tertulis dari Dewan
Pengawas dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah
dimulainya Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12C
Dewan
Pengawas wajib memberikan keputusan terhadap permintaan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12A dan Pasal 12B ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam sejak permintaan izin diajukan.
Pasal 12D
(1)
Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang sedang berlangsung
dilaporkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.
(2)
Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai
dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
Pasal 12E
(1)
Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a bersifat rahasia
kecuali untuk kepentingan peradilan Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib dimusnahkan.
3.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a.
meninggal dunia;
b.
berakhir masa jabatannya;
c.
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d.
berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan
tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e.
mengundurkan diri; atau
f.
dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara dari
jabatannya .
(3)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dilarang menduduki jabatan publik.
(4)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Presiden Republik Indonesia.
4.
Di antara Bab V dan Bab VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VA yang berbunyi
sebagai berikut:
BAB VA
DEWAN PENGAWAS
5.
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal
37B, Pasal 37C, Pasal 37D, dan Pasal 37E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
(1)
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk Dewan Pengawas.
(2)
Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.
(3)
Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang, 1 (satu) orang diantaranya
ditetapkan menjadi ketua Dewan Pengawas berdasarkan keputusan hasil rapat
anggota Dewan Pengawas.
(4)
Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memegang jabatan
selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk
1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 37B
(1)
Dewan Pengawas bertugas:
a.
mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b.
memberikan izin Penyadapan dan penyitaan;
c.
menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi;
d.
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik
oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi;
e.
melakukan evaluasi kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala
1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan
f.
menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan
pelanggaran kode etik oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau
pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 37C
Untuk
dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37A, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
sehat jasmani dan rohani;
d.
memiliki integritas moral dan keteladanan;
e.
berkelakuan baik;
f.
tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
g.
berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun;
h.
berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu);
i.
mempunyai pengetahuan dan memahami pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
j.
tidak menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik;
k.
melepaskan jabatan struktural atau jabatan lainnya;
l.
tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Dewan Pengawas; dan
m.
mengumumkan harta kekayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37D
(1)
Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia.
(2)
Dalam mengangkat anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Presiden membentuk panitia seleksi.
(3)
Ketentuan mengenai pengangkatan dan pembentukan panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 37E
(1)
Anggota Dewan Pengawas berhenti atau diberhentikan, apabila:
a.
meninggal dunia;
b.
berakhir masa jabatannya;
c.
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d.
mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan/atau
e.
tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut.
(2)
Dalam hal Dewan Pengawas menjadi tersangka tindak pidana, diberhentikan
sementara dari jabatannya.
(3)
Anggota Dewan Pengawas yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilarang menduduki jabatan publik.
(4)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Presiden Republik Indonesia.
6.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
Segala
kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana berlaku
juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini.
7.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan
dan bukti yang cukup.
(3)
Penghentian penyidikan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1
(satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian
penyidikan.
(4)
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan hal-hal baru yang dapat
membatalkan alasan penghentian penyidikan.
8.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1)
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan
dari kepolisian selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan kepolisian.
(3)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat penyelidik sendiri
sesuai dengan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
(4)
Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) melaksanakan fungsi
penyelidikan Tindak Pidana Korupsi.
9.
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 43A dan
Pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1)
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
b.
bertugas di bidang fungsi penyelidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c.
mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan;
d.
sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
e.
memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
(2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan oleh
kepolisian dan bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) diberhentikan dari jabatannya apabila:
a.
diberhentikan sebagai aparatur sipil negara;
b.
tidak lagi bertugas di bidang teknis penegakan hukum; atau
c.
permintaan sendiri secara tertulis.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian
penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 43B
Penyelidik
yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang berasal dari
kepolisian tidak dapat ditarik oleh instansi asal kecuali telah bekerja paling
sedikit 2 (dua) tahun di Komisi Pemberantasan Korupsi dan tidak sedang
menangani kasus.
10.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
(1)
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan
dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan kepolisian atau kejaksaan.
(3)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai
dengan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
(4)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan
Tindak Pidana Korupsi.
11.
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan
Pasal 45B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45A
(1)
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a.
berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
b.
bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c.
mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan;
d.
sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
e.
memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
(2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan oleh
kepolisian dan kejaksaan bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
diberhentikan dari jabatannya karena:
a.
diberhentikan sebagai aparatur sipil negara;
b.
tidak lagi bertugas di bidang teknis penegakan hukum; atau
c.
permintaan sendiri secara tertulis.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 45B
Penyidik
yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang berasal dari
kepolisian dan kejaksaan tidak dapat ditarik oleh instansi asal kecuali telah
bekerja paling sedikit 2 (dua) tahun di Komisi Pemberantasan Korupsi dan tidak
sedang menangani kasus.
12.
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
(1)
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang
berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka harus berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara
pidana.
(2)
Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak
mengurangi hak-hak tersangka.
13.
Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1)
Atas dasar dugaan yang kuat dan adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik
dapat melakukan penyitaan dengan izin Dewan Pengawas berkaitan dengan tugas
penyidikannya.
(2)
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai
tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara
penyitaan pada hari penyitaan paling sedikit memuat:
a.
nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita;
b.
keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain
tersebut;
d.
tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan
e.
tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang
tersebut.
(4)
Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada tersangka atau keluarganya.
14.
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
(1)
Dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin
tertulis dari Dewan Pengawas.
(2)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus meminta izin tertulis dari Dewan
Pengawas dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah
dimulainya penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dewan Pengawas wajib memberikan keputusan terhadap permintaan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak
permintaan izin diajukan.
Pasal II
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Penjelasan
Atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
I. UMUM
Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Meningkatnya
Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Dalam
upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dengan
berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi
dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang mempunyai tugas dan
wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi bersifat
independen dan bebas dari kekuasaan manapun.
Namun
dalam perkembangannya, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang
efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelanggaran
kode etik oleh pimpinan dan staf Komisi Pemberantasan Korupsi, serta adanya
masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, yakni adanya pelaksanaan tugas
dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum
acara pidana, kelemahan koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, problem
Penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi,
terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta
kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga memungkinkan terdapat cela
dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana
korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan
perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan
Korupsi:
1)
dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif
sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan lebih efektif, efisien,
terkoordinasi, dan sesuai dengan ketentuan umum yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
2)
tidak memonopoli dan menyelisihi tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan; dan
3)
berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dalam
upaya bersama melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.