Rancangan
Undang-undang Pertanahan di tahun 2019 ini sedang hangat diperbincangan hampir
di setiap kalangan. Dikutip dari news.detik.com, berikut ini adalah beberapa
pasal yang dinilai bermasalah:
1. Korban penggusuran
yang melawan terancam pidana
Sekretaris
Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai ada sejumlah
pasal karet dalam RUU tentang Pertanahan. Salah satunya itualah Pasal 91.
Menurutnya, Pasal ini bisa memberikan legitimasi bagi aparat untuk memidanakan
masyarakat yang ingin membela hak tanahnya.
"RUU
itu bermasalah. Di pasal 91 misalnya, itu memberikan legitimasi hukum polisi
untuk melakukan pemidanaan. Tentu ini kan pasti akan ditafsirkan secara utuh,
untuk secara bebas menangkap siapapun. Misalkan, warga yang menolak tanahnya
untuk dijadikan bandara," kata Dewi Kartika kepada wartawan, Senin
(23/9/2019).
Pasal
91 dalam draft RUU tentang Pertanahan itu menyebut orang yang menghalangi
petugas saat menggusur bisa dipidana. Begini bunyinya:
"Setiap
orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang
melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (4) huruf c atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima
ratus juta rupiah)," bunyi pasal dalam draft yang diterima.
2. Mereka yang
melakukan pemufakatan jahat dalam sengketa tanah bisa dipidana
Dewi
Kartika juga menjelaskan bahwa ada pasal yang juga bisa mempidanakan aktivis
organisasi agraria, yakni pasal 95. Apalagi, pasal itu sifatnya hukum positif.
"Itu
bisa berpotensi mengkriminilasi masyarakat adat atau masyarakat terorganisir
atau aktivis. Kan petani-petani ini yang berserikat, bisa dipidana juga mereka.
Soalnya pasal itu sifatnya hukum positif," ujarnya.
Begini
bunyi pasal 95 itu:
"Setiap
orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan dan/atau membantu
melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik
Pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak Rp 15.000.000.000
(lima belas milyar rupiah)," begitu bunyi pasal yang tertulis dalam draft.
3. Nama pemilik HGU dirahasiakan?
Dewi
juga mengungkapkan pasal yang bisa melindungi nama pemilik HGU. Hal itu
disebutkan dalam pasal 46 ayat 8. Begini bunyinya:
(8)
Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data Pertanahan kecuali
informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Meskipun
tak secara eksplisit menyebut pemilik HGU dirahasiakan, namun menurutnya pasal
itu tetap memiliki celah untuk menyembunyikan nama pemilik HGU.
4. Masa kepemilikan
HGU diperpanjang 90 tahun
Pasal
lain yang bermasalah, menurut Dewi adalah pasal 26. Pasal ini menurutnya
memberikan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 90 tahun. Begini bunyi pasalnya:
Pasal
26
(1)
Hak Guna Usaha diberikan dengan jangka waktu:
a.
untuk perorangan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan
b.
untuk badan hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
(2)
Dalam hal memenuhi ketentuan dan persyaratan, Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang satu kali, yaitu:
a.
untuk perorangan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan
b.
untuk badan hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
Baca
juga: Dinilai Banyak Masalah, Pengesahan RUU Pertanahan Diminta Ditunda
(3)
Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan kekhususan dalam hal permohonan dan
perpanjangan Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan perpanjangan jangka waktu Hak Guna
Usaha paling lama 20 (dua puluh) tahun.
5. Nuansa Domein
Verklaring zaman Belanda
Draft
RUU Pertanahan ini juga dianggap mengandung nilai Domein Verklaring zaman
kolonial Belanda. Domein Verklaring sendiri merupakan asas di mana tanah
menjadi milik negara ketika sang pemilik tanah tidak bisa membuktikkan bukti
kepemilikkannya. Nuansa itu muncul dalam Pasal 36:
Pasal
36
(1)
Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b
diberikan kepada:
a.
instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.
perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau
c.
badan keagamaan dan sosial.
(2)
Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemegang hak dalam rangka pelayanan publik.
(3)
Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilepaskan dan dialihkan dengan cara tukar bangun atau cara lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai dengan jangka waktu dan Hak Pakai
selama digunakan diatur dalam Peraturan Pemerintah.