Tanah
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia merupakan
sumberdaya alam yang langka dan kebutuhan dasar manusia, khususnya untuk
ketersediaan papan dan pangan. Oleh karena sifatnya yang demikian strategis,
maka negara diberi wewenang oleh Bangsa Indonesia untuk membuat kebijakan,
mengatur, mengurus, mengelola, dan melakukan pengawasan terkait dengan
pemanfaatan, pemilikan, dan pemeliharaan bumi, termasuk Tanah, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya; hubungan hukum antara Negara dengan bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; dan hubungan hukum antara orang
dengan perbuatan hukum terkait bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Kewenangan
negara untuk menguasai itu ditujukan untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Hak rakyat sungguh-sungguh dihormati, penentuan manfaat sumber daya
alam, termasuk Tanah, dilakukan dengan
melibatkan peranserta rakyat sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara merata
oleh rakyat.
Pengaturan
bidang pertanahan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) meliputi hal-hal yang bersifat pokok, sehingga
dengan perjalanan waktu, berbagai hal yang belum diantisipasi perlu dilengkapi
sesuai dengan perkembangan di bidang ilmu, teknologi, sosial-ekonomi, dan
budaya, untuk dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks. Di samping itu, satu dasawarsa setelah terbitnya UUPA, kebijakan
ekonomi makro yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ikut mewarnai
pembentukan peraturan perundang-undangan pertanahan sebagai peraturan
pelaksanaan UUPA. Berbagai kebijakan yang terbit pada masa itu tidak jarang
telah menyimpang dari falsafah dan prinsip-prinsip yang dianut UUPA.
Dampak
dari penyimpangan tersebut dapat juga dilihat pada ketidakkonsistenan antara
undang-undang sumber daya alam dengan
UUPA terkait bidang pertanahan. Akibat
lebih lanjut dari ketidakkonsistenan ini antara lain timbulnya berbagai
konflik dan sengketa terkait akses untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber
daya alam, di samping semakin mundurnya kualitas dan kuantitas sumber daya
alam.
Kondisi
tersebut telah mendorong terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam yang dalam arah kebijakannya antara lain mengamanatkan untuk
mengambil langkah harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang sumber
daya alam.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, dianggap perlu untuk menyusun Undang-Undang tentang
Pertanahan dalam rangka melengkapi dan menjabarkan pengaturan bidang
pertanahan, mempertegas penafsiran, dan
menjadi “jembatan antara” untuk meminimalkan ketidaksinkronan antara UUPA
dengan peraturan perundang-undangan sumber daya alam terkait bidang pertanahan.
Rancangan
Undang-Undang tentang Pertanahan disusun berdasarkan falsafah UUPA yang
bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan prinsip dasar UUPA yang dikembangkan dan diperkuat selaras
dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria sesuai dengan TAP MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria adalah sebagai berikut:
1.
memelihara
dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.
menghormati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3.
menghormati
supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
4.
mensejahterakan
rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
5.
mengembangkan
demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
6.
mewujudkan
keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
7.
memelihara
keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetapmemperhatikan daya tampung dan
daya dukung lingkungan;
8.
melaksanakan
fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial
budaya setempat;
9.
meningkatkan
keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam
pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
10.
mengakui,
menghormati, dan melindungi hak Masyarakat Hukum Adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
11.
mengupayakan
keseimbangan hak dan kewajiban negara, Pemerintah (pusat, daerah provinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; dan
12.
melaksanakan
desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan
alokasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Rancangan
Undang-Undang tentang Pertanahan mengatur mengenai hubungan antara negara,
Masyarakat Hukum Adat dan orang dengan Tanah; prinsip-prinsip pengaturan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan Tanah; Reforma
Agraria; Hak Atas Tanah; pendaftaran Tanah; perolehan Tanah untuk kepentingan
umum dan pengalihfungsian tanah; penyediaan Tanah untuk keperluan peribadatan
dan sosial; penyelesaian sengketa; penataan, pengendalian penggunaan dan
pemanfaatan Tanah; sanksi; dan ketentuan pidana.