Penjelasan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
I.
UMUM
Tindak
pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.
Dalam
rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan
landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan
Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undangundang.
Undang-Undang
ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di
atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan
oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu
pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini
dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan berbagai instansi tersebut.
Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
a.
melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b.
mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan
pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1)
dapat
menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2)
tidak
memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3)
berfungsi
sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4)
berfungsi
untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan.
Selain
itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh
ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1)
ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan
tentang asas pembuktian terbalik;
2)
ketentuan
tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa
ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3)
ketentuan
tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan
menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4)
ketentuan
mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5)
ketentuan
mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah
sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan
Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber
daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai
Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas
unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan
oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap
melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan
harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden
Republik Indonesia.
Di
samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai
bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan
mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian
rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi
dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara
sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
diawasi oleh masyarakat luas.
Untuk
mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu
didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan
berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan
di daerah provinsi.
Dalam
menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi
Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam
Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex
specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan
peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di
tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang
terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk
menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu
secara tegas.
Untuk
mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi
melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau
hukum yang berlaku.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas
Pasal
2
Cukup
jelas
Pasal
3
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota
Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,
pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan
dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Pasal
4
Cukup
jelas
Pasal
5
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a.
“kepastian
hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b.
“keterbukaan”
adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c.
“akuntabilitas”
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.
“kepentingan
umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e.
“proporsionalitas”
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung
jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 6
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah
Non-Departemen.
Pasal
7
Cukup
jelas
Pasal
8
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Ketentuan
ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga
jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka
tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan
kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah
Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat
pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
9
Cukup
jelas
Pasal
10
Cukup
jelas
Pasal
11
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Pasal
12
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau
korporasi.
Huruf
g
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti
yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari
kerugian negara yang lebih besar.
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf i
Permintaan
bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi
melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara
untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.
Pasal
13
Cukup
jelas
Pasal
14
Cukup
jelas
Pasal
15
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga
pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian
identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas
Pasal
16
Ketentuan
dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status
gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal
17
Cukup
jelas
Pasal
18
Cukup
jelas
Pasal
19
Cukup
jelas
Pasal
20
Cukup
jelas
Pasal
21
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan
keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal
22
Cukup
jelas
Pasal
23
Cukup
jelas
Pasal
24
Cukup
jelas
Pasal
25
Cukup
jelas
Pasal
26
Cukup
jelas
Pasal
27
Cukup
jelas
Pasal
28
Cukup
jelas
Pasal
29
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf
i
Yang
dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada
Badan Usaha Milik Negara atau swasta.
Huruf
j
Yang
dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter.
Huruf
k
Cukup
jelas
Pasal
30
Cukup
jelas
Pasal
31
Yang
dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan
mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
32
Cukup
jelas
Pasal
33
Cukup
jelas
Pasal
34
Cukup
jelas
Pasal
35
Cukup
jelas
Pasal
36
Cukup
jelas
Pasal
37
Cukup
jelas
Pasal
38
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
39
Cukup
jelas
Pasal
40
Cukup
jelas
Pasal
41
Yang
dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani
perkara tindak pidana korupsi.
Pasal
42
Cukup
jelas
Pasal
43
Cukup
jelas
Pasal
44
Cukup
jelas
Pasal
45
Cukup
jelas
Pasal
46
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi
tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
47
Cukup
jelas
Pasal
48
Cukup
jelas
Pasal
49
Cukup
jelas
Pasal
50
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari
dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
Pasal
51
Cukup
jelas
Pasal
52
Cukup
jelas
Pasal
53
Cukup
jelas
Pasal
54
Cukup
jelas
Pasal
55
Cukup
jelas
Pasal
56
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Berdasarkan
ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Berdasarkan
ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan
diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman
dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat
masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi tersebut.
Pasal
57
Cukup
jelas
Pasal
58
Cukup
jelas
Pasal
59
Cukup
jelas
Pasal
60
Cukup
jelas
Pasal
61
Cukup
jelas
Pasal
62
Yang
dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
Pasal
63
Cukup
jelas
Pasal
64
Yang
dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan
kompensasi.
Pasal
65
Cukup
jelas
Pasal
66
Cukup
jelas
Pasal
67
Cukup
jelas
Pasal
68
Cukup
jelas
Pasal
69
Cukup
jelas
Pasal
70
Cukup
jelas
Pasal
71
Cukup
jelas
Pasal
72
Cukup
jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250